Majalah OPINI

Sebuah Kemajuan bukan Kemunduran

Posted on: October 5, 2008

Oleh : Gelis Indah Pertiwi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Undip Angkatan 2006

DI bundaran kota yang panasnya membakar kulit, berkumpul puluhan mahasiswa, dengan orasinya yang menyala bak bara. Eforia ini akan terus mengusik para manusia ini melihat moral pemimpin-pemimpinnya selama kebodohan dan kerakusan menjadi selimut yang terus menutupi.

Demonstrasi, mogok makan, mogok kerja seakan sudah menjadi makanan sehari-hari yang muncul di media massa. Sejak dimulainya era reformasi, masyarakat mulai berani bersuara dan memberontak. Di sepanjang jalan, bukan hal yang baru melihat puluhan orang berjalan dan berorasi sambil memegang spanduk, meneriakkan yel-yel, dan beratraksi.

Namun setelah sekian lama, apakah semua ini mempunyai efek yang besar untuk mengetuk hati pemimpin-pemimpin kita di sana? Siapa yang menyangka akan seperti ini jadinya. Siapa kawan siapa lawan, ungkapan yang terus terdengung untuk kembali menyindir para wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat.

Indonesia Negara Kaya?

Sudah empat kali transisi, gedung DPRD masih terus diperbaiki, Bukan kinerjanya, namun bangunan dan fasilitasnya. Indonesia bukan negara kaya karena ratusan ribu orang masih makan nasi aking, jutaan orang tidak berumah tetap dan putus sekolah. Minyak dan hasil alam milik siapa? Yang jelas bukan milik kita. Itulah sedikit gambaran tentang Indonesia tercinta dengan kompleksitas masalah yang terus mendera. Mungkin ini memang untuk menguji mental kita agar terlatih menghadapi masalah besar esok hari.

Bangsa ini memasuki tahap demokratisasi, terbukanya kebebasan yang telah terkungkung bertahun-tahun. Kemajuan teknologi berpacu semakin cepat, gaya hidup konsumtif begitu merajalela, masyarakat semakin menikmati babak baru kenyamanan ini, dan tanpa disadari tumpukan kaum musthad’afin semakin meninggi.

Kemajuan dan kemodernan menghegemoni pola pikir, menciptakan sebuah ikon sebagai tolok ukurnya, Amerika dan Negara-negara maju di Eropa bahkan Asia.  Segala yang modern dan maju adalah sebagaimana yang tampak pada peradaban bangsa mereka, mal-mal yang besar, gedung perkantoran, apartemen, hotel-hotel  berbintang, mobil-mobil mewah, dan segala life style yang digandrungi, Ya itu adalah modern. Modern seakan yang terbaik bagi semua orang tanpa mengindahkan dampak jangka panjang.

Ternyata ke-modern-an ini juga menjangkau wakil-wakil kita di lembaga dewan. Mobil-mobil mewah memenuhi lapangan parkir, tunjangan yang selangit untuk memenuhi kebutuhan tersier yang seolah-olah menjadi sangat mendesak dan fasilitas-fasilitas pekerjaan yang terus mengikuti kemajuan zaman tanpa mengefektifkan pemakaian. Budaya latah akhirnya menuntut masyarakat menjadi sangat konsumeris.

Latah berarti mengikuti, menirukan dan kita sebagai bangsa yang dikenal beradab dan penuh kesopanan cenderung menjadi imitasi bangsa lain karena kehilangan kepercayaan diri sehingga kehilangan jati diri. Sebenarnya bangsa ini sangat besar dan memiliki potensi kebudayaan yang begitu beragam. Sayangnya, saat ini semua seakan mulai hilang dari kehidupan karena moral sudah bukan acuan.

Hubungan Sebab-Akibat

Serangakaian bencana yang terjadi di Indoensia beberapa tahun terakhir adalah sebuah hubungan sebab akibat dari perbuatan manusia. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an disebutkan “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (Ar-Rum :41).

Tsunami, banjir, tanah longsor, gagal panen karena musim kering yang lama, Lumpur lapindo, bahkan sampai pada kecelakaan-kecalekaan tragis sarana transportasi bus, kereta api, kapal dan pesawat terbang adalah salah satu teguran dari Yang Maha Kuasa atas merebaknya perilaku menyimpang dan tidak bersahabatnya kita dengan alam. Sungguh ironis karena rentetan bencana ini seakan datang silih berganti. Mungkin karena bangsa ini jarang belajar dari pengalaman sering terlena dan terlupa oleh keadaan, enggan mengkoreksi diri, anti kritik dan malas untuk memulai dari hal-hal yang kecil.

Sebuah Teladan

Melihat fenomena keadaan masyarakat yang seperti itu cukup menjadi gambaran betapa pemimpin dan wakil rakyat seharusnya mempunyai tugas yang sangat berat untuk menciptakan kestabilan dan kesejahteraan masyarakat. Seorang pemimpin yang baik akan menjadi panutan rakyatnya. Oleh karena itu pendidikan paling efektif adalah dengan menjadi teladan atau contoh yang baik bagi rakyat atau bawahannya. Kesenjangan sosial yang mencolok adalah salah satu aspek penting menyuburkan konflik. Di Aceh, Sampit, Poso, Ambon dan daerah-daerah lain menjadi potret kekosongan akan kehadiran sebuah teladan.

Apa yang nampak bahwa para wakil rakyat justru menjadi lawan rakyatnya adalah hal yang absurd. Sebuah konstitusi politik ada untuk kebaikan bagi rakyat. ”Tujuan dari semua konstitusi politik adalah …pertama untuk mendapatkan para penguasa, yaitu orang-orang yang memiliki kebijakan tertinggi untuk melihat dengan jelas, dan yang paling baik untuk mengejar tujuan bersama masyarakat”(James Madison). Jika keadaan yang terjadi sebaliknya maka dapat dipastikan bangsa ini akan semakin jauh dari peradaban, kehilangan nyawa karena ruh dan komitmen persaudaraan sudah tidak melekat di hati setiap orang.

Moral bangsa yang semakin tipis ditandai dengan menurunnya kepekaan lingkungan dan rasa empati terhadap sesama. Mengikisnya budaya malu dan menguatnya kepercayaan diri terhadap sesuatu yang salah. Masyarakat seakan kehilangan kontrol. Yang benar dianggap tabu, yang tabu dianggap benar. Itulah yang terjadi pada bangsa ini, sebagaimana yang tertulis pada ayat berikut “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”(QS Ar-Ra’d:11). Dalam permasalahan ini, manusialah yang bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaannya sendiri sehingga kemudian Allah memberi jalan yang terbaik karena ikhtiar yang tulus tak akan pernah sia-sia.

Demonstrasi dan orasi akan terus bergulir, aksi turun jalan akan terus menghiasi jalanan kota selama pemimpin dan wakil rakyat tidak menggunakan hati dalam setiap kebijakan yang diambil, mengabaikan jeritan tangis “wong cilik” dan mengingkari amanah. Sebagai generasi muda adalah seyogyanya menjadi pelopor perubahan (agent of change) dan pengingat, bukan pengikut yang alpa. Kepekaan hati harus senantiasa diasah agar bisa dengan mudah melihat kondisi di sekitar kita. Jika Gie dan kawan-kawan telah membuktikan kecintaannya pada bangsa, bagaimana dengan kita ?

No action, Nothing Happen, when U take Action Miracle Happen. (*)

1 Response to "Sebuah Kemajuan bukan Kemunduran"

Leave a comment

Kalender

October 2008
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Tentang Kami

LPM OPINI adalah Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang Berdiri tanggal 23 April 1985. LPM OPINI Berlalamtkan di Jl. Imam Bardjo no 1 Semarang. LPM OPINI hadir ke tengah-tengah para pembacanya. Sebagai sebuah LPM OPINI yang independen, berdiri sendiri dan menjadikan prinsip-prinsip jurnalistik dalam setiap peliputan beritanya. dengan menganut UU Pers sebagai acuan dan Kode etik wartawan Indonesia, LPM OPINI terus berusaha menghadirkan berita-berita yang hangat dan terbaru. Sebagai sebuah media informasi di lingkungan FISIP, LPM OPINI mencoba untuk terus eksis dan berkreasi, Menyumbangkan ide-ide kritis, dan kreatif terhadap permsalahan yang aktual dan terkini. kritik saran silahkan kirimkan ke opini_fisipundip@yahoo.com

Blog Stats

  • 145,701 hits

Top Clicks

  • None

Rubrik & Edisi